Matahari
nampaknya sudah mulai bergeser beberapa derajat ke arah barat. Pancaran cahaya
tulusnya mulai sedikit meredup dan sudah tidak memberikan kehangatan siang yang
mungkin tadi bisa dibilang hampir terasa panas. Muadzin di Masjid
Al-Falah juga sudah selesai mengumandangkan suara merdunya untuk mengingatkan
setiap muslim dan muslimah pergi kesana dan menjalani ibadah shalat Ashar.
Beberapa orang disini pun sudah berbondong-bondong pergi ke tempat suci yang
jaraknya sekitar lima puluh meter.
Aku
bersegera merapihkan meja dan menitipkannya pada rekanku. Aku ingin bersegera
pergi ke Masjid. Dari balik meja penerima tamu, aku melihat seorang seumurku yang datang bersama ibunya. Wajahnya
tak asing bagiku, dia adalah teman saat duduk di Sekolah Dasar. Kami tak pernah bertemu lagi sejak
perpisahan sekitar
tujuh tahun lalu. Ia
berdiri tepat di hadapanku tapi matanya masih tertuju pada smartphone
yang ia genggam.
Aku jelas mengenalinya, wajahnya
tidak berubah. Terlihat biasa, karena memang masih banyak yang jauh lebih
tampan dari dia. Dari gelagatnya juga masih terlihat dia anak yang cukup badung,
sama seperti dulu. Bunda bilang dia bukan anak yang baik, dulu. Ya begitu
menurut Bunda dulu, tidak tahu kalau sekarang.
Sampai
Ibu dari pemuda ini selesai menuliskan namanya di buku tamu, ia masih terpaku
dengan smartphonenya dan tidak melihatku yang ada di depannya. Ia baru
tersadar kalau ada aku disini ketika ia melirik ke arahku.
“Kamu
Desti? Yang dulu Sekolah di Kosambi itu kan? Yang jago matematika dan kurus
kering karena kebanyakan mikirin rumus? Kok sekarang? Pasti kamu udah gak jago
matematika lagi deh” sapaannya setelah sekian lama tidak bertemu membuatku agak
sedikit kesal, tertawa juga.
“Diiihhh
kamu jahat banget sih bicara tentang aku segitunya. Sekarang aku masih jago kok
matematikanya dan justru semakin pintar” kataku dengan sangat percaya diri.
Kemudian
mereka pergi menuju pelaminan untuk mengucapkan kata-kata standar di hari
pernikahan seseorang, ‘Selamat menempuh hidup baru ya. Semoga menjadi keluarga
yang harmonis, sakinnah, mawaddah, warrahmah. Cepet dikasih momongan dan
beberapa kata lainnya. Sedangkan aku, kembali menjalankan niat ke masjid.
Beberapa
menit berlalu, setelah shalat aku memutuskan kembali ke acara pernikahan
tetanggaku. Aku mampir ke ruang tata rias dan memintanya untuk sedikit
menambahkan bedak dan lipstick. Sebelum aku sampai ke meja tugasku, aku
kembali bertemu dengannya.
“Kok kamu gak pulang?” tanyaku heran.
“Aku
disini mau ketemu kamu lagi daaan…” ia berhenti sejenak, “aku mau banyak
mengobrol lagi sama kamu, Des. Punya pin BB? Atau nomer handphone?”
Tanpa
banyak berbincang, aku memberikannya pin bb.
“Terima
kasih ya, Des.” Setelah aku memberikan pin BB dan nomor handphone, ia pergi untuk
kembali ke rumahnya.
Satu jam berselang setelah ia meninggalkan
acara pernikahan, handphoneku berdering, “cring”
aku tersenyum, Adiansyah mengajakku
mengobrol melalui BBM chat.
“Hai temen SD, kok kamu berubah banget sih
sekarang?”
“Berubah? Hehe kaya power ranger aja”
“Bukan gitu, kamu jadi manis dan endut. Dulu kan
kamu kurus kering tinggal tulang dan kulit. Haha Sibuk apa sekarang, Ndut?”
“Ndut? Gitar spanyol gini dibilang endut? Haha. Dari tadi ketemu, kamu bahasnya begituan terus deh
:/ Sibuk belajar dan
mengajar nih”
“Ngajar matematika yah, ndut? Haha. Kamu kan murid emasnya Bu Safinah. Yang sering dipanggil ngerjain
soal matematika di papan tulis.”
“Iya benar, kaya Ki Joko Bodo aja bisa ngeramal.
Hehe. Kan dulu kamu sering dipanggil-panggil
Bu Safinah juga, Di.”
“Iya, kalo kamu dipanggil buat ngerjain soal. Kalo
aku dipanggilnya kena hukuman karena enggak ngerjain soal, Des. Haha”
Berlanjut pada
kunjungan pertama, saat itu
Sabtu malam, ia datang ke rumahku dengan membawakan
martabak keju dan martabak telur kesukaanku. Kami berbincang di teras rumah dengan diawasi Ayah yang
duduk di balik jendela ruang tamu seraya
membaca koran dan minum kopi. Obrolan kami masih terlihat kaku. Kami hanya mengulang
pembahasan.
Setelah
beberapa kali ia ke rumahku. Awalnya sekedar
untuk bersilaturahmi, bercengkrama atau sesekali mengerjakan tugas bersama. Pada
akhirnya hubungan kita semakin dekat. Aku tidak tahu ini malam
keberapa aku menghabiskan malam dengan berbincang bersama lelaki ini di BBM. Ia
mengukirkan senyum di malam yang dihiasi hujan dengan kalimat penutup yang
begitu manis.
“Selamat tidur bidadari beransel”
“Kok bidadari beransel?”
“Iya, kalau
bidadari bersayap udah biasa, kalo bidadari beransel, ya kamu itu.”
Beberapa minggu kemudian, ia mengajakku ke
taman kota. Jembatan merah di atas sungai yang bersih, tempat duduk dari kayu
pohon jati serta banyaknya pohon rindang membuat suasana menjadi tenang dan
nyaman. Teduh
di luar, damai dihati. Tak lupa aku bersyukur atas segala pemberian Allah yang
ada di hadapanku.
“Kamu
suka tempat ini, Des?
“Suka banget, tempatnya adem, bikin hati adem juga di.”
Ia mulai menatapku dengan mata berbinar, ia
tersenyum dan bibir mungilnya mulai berucap dengan gemetar, “Des, aku sayang kamu. Kamu bisa ngerasain itu
kan?”
Aku terdiam dan menatap seluruh likuk wajahya yang saat itu berbeda dari biasanya, kemudian aku tertawa, “tampangmu lucu, Di.”
Aku terdiam dan menatap seluruh likuk wajahya yang saat itu berbeda dari biasanya, kemudian aku tertawa, “tampangmu lucu, Di.”
Kami tidak melanjutkan pembicaraan
serius itu dan seakan terhipnotis untuk tidak mengatakan
perasaan satu
sama lain. Aku mungkin terlihat gugup dan
membunuh suasana gugup itu dengan guyonan-guyonan kecil yang membuat kami
saling tertawa.
Kencan
ini terasa singkat. Senja sudah menyapa, kami sudah lelah dan kami memutuskan
untuk pulang. Ia mengantarku hingga depan rumah dan
bertemu dengan kedua orang tuaku untuk menunjukkan kalau dia sudah mengembalikan
putrinya dengan baik tanpa terjadi apapun yang melukaiku. Kemudian ia
mengeluarkan satu novel dari tasnya.
“Beberapa waktu lalu aku menemukan novel
di gudang. Aku tau kamu suka baca. Aku belum buka-buka. Nih buat bahan bacaan
kamu.” Ia memberikan novel itu.
Aku membukanya, “Di, ini kayaknya
beberapa lembar belakangnya luntur deh. Tiga halaman, Di. Gimana aku selesai
membacanya?”
“Duh gimana ya? Aku gak lihat-lihat dulu
lagi,” ia menggaruk kepalanya.
“Baiklah aku pegang saja. Nanti aku cari
tau akhirnya kayak gimana.”
“Bagus deh kalau begitu. Aku pulang ya.
Assalamu’alaikum.”
***
Ungkapannya saat itu dilanjutkan. Di
saung pinggir danau, di bawah pohon
rindang membuat suasana begitu tenang.
Suara burung yang hinggap di pepohonan terdengar bersautan satu sama
lain terdengar
jelas dari saung yang kududuki.
Hanya ada aku, dia dan tukang mie ayam di sana. Usai makan, kami mengisi
waktu dengan bermain beberapa permainan di tablet miliknya.
Lelah jari-jari menyentuh layar, kami berhenti
dan melanjutkan untuk mengobrol
santai.
“Des,
aku sayang kamu. Aku ingin kita selalu bersama dalam suatu hubungan.”
“Hubungan?
Kaya kabel listrik aja hubungan.”
“Aku
serius!” ucapnya dengan tegas.
“Serius
itu band yang sudah bubar kan? Haha”
“Des...” dia
mulai kesal dengan aku yang selalu mengalihkan pembicaraannya.
“Oke, maaf. Hubungan apa yang di maksud?”
“Hubungan
yang lebih dari persahabatan. Aku mau kita pacaran.” Lalu ia mengeluarkan mawar putih dari saku celana
dan memberikannya padaku.
Aku terhanyut dalam
kata-kata yang diutarakannya, dengan tersipu malu dan disaksikan oleh tukang
mie ayam yang mengintip lewat balik gerobak, aku menjawab perasaan cintanya
seraya menerima bunga yang diberikan padaku.
“Iya aku mau, Adiansyah”
jawabku tersenyum lalu menunduk menutup pipiku yang mulai memerah.
Kemudian
ia berteriak, “yeeessss”. Jujur saja aku
sedikit malu walaupun disini kita hanya bertiga. Tukang mie ayam itu juga
menoleh ke arah kami dan tersenyum. Aku mencium mawar putih itu dan mencoba
merasakan cinta yang mengelilingi kami.
Kami kembali membicarakan novel yang
beberapa waktu lalu dia berikan. Aku menceritakan kepadanya tentang isi dari
novel tersebut.
“Ceritanya
sedih banget, Di. Jadi si tokoh laki-lakinya itu hyper aktif dan gak
gampang sakit padahal dia yang justru kena sakit parah. Nah, sahabatnya yang
perempuan ini sudah tahu sejak lama kalau sahabatnya sakit. Dia berusaha
mati-matian deh buat mengobati si laki-laki ini. Padahal dia juga lemah. Pada
akhirnya, si laki-laki ini meninggal tanpa tau sakitnya apa dan di saat
meninggal itu juga yang perempuan ini malah lagi menjalani operasi ginjal di
Rumah Sakit.”
“Kenapa si laki-laki itu gak tau tentang
penyakitnya?”
“Soalnya
dia keras kepala…” dan perbincangan itu menghantarkan kami menuju adzan maghrib
dan mengisi kencan kami sore ini.
***
Dalam
hubungan ini, dia sering mengeluarkan kata-kata gombal. Menurutku itu klasik,
tapi dia pacarku. Orang yang aku putuskan untuk aku sayangi setelah beberapa
tokoh penting dalam hidupku lainnya. Sedangkan aku, selalu saja bisa
mengalihkan segala yang ia ucapkan.
“Des, semalam aku menonton on the
spot ada orang yang
disebut sebagai manusia paling beruntung di dunia karena udah sering lolos dari
kecelakaan maut berkali-kali loh!”
“Terus?” tanya
ku penasaran.
“Menurut aku sih, orang yang paling beruntung ya aku.”
“Hah, kok kamu?
“Iya, Aku adalah orang yang paling beruntung didunia
dan diakhirat, karena aku adalah manusia yang berhasil mendapatkan cinta
bidadari surga. Hehehe”
Aku
hanya ngikik membaca rayuan
gombal kekasihku.
“Bales dong des gombalan aku.” Pintanya memaksa.
“Oke, kamu sebutin deh, apa aja yang paling manis sedunia?”
“Hmm... Madu... susu... gula...” aku tau dia menjawab hanya untuk berpura-pura.
“Betul!!!”
“Loh kok betul?”
“Iya betul, kan aku cuma nanya, apa aja yang manis.
Terus kamu jawab madu, susu, gula. Dan semua jawabanmu betul.”
“Kok kamu enggak bilang aku lebih manis dari semua
itu sih? Aku udah geer sampe wajah memerah seperti buah tomat gini, ternyata
gitu doang? Sebal!”
“Aku kan nanya apa bukan siapa di. Hahaha.”
“Kalau nanya siapa, jawabanmu apa?”
“Hmm, hantu jembatan ancol. Kan si manis jembatan
Ancol. Pernah dengar judul itu kan?” Jawabku
meledek.
Semakin hari, rasa
sayang itu semakin tumbuh. Semua terasa indah saat kami lalui bersama. Sedang
hangat-hangatnya dua remaja memadu kasih asmara. Dunia terasa milik berdua,
begitu indah tiada terkira. Sayang, Uhibuki, Love, Liebe, sering orang
menyebutnya, dan kami merasakan kebahagiaan atasnya.
Enam
bulan kami merajut kisah asmara, aku selalu memperbincangkan namanya dengan
Allah dalam setiap doaku. “Allah,
jika kami memang bertemu tuk dipersatukan, maka satukanlah kami dengan cara
terbaikmu. Jika bukan, maka pisahkanlah kami secara baik-baik dan secepat
mungkin, sebelum hubungan ini semakin jauh dan perasaan ini semakin dalam.”
***
Mungkin
ini jawaban Allah atas Doaku. Seminggu
terakhir, ia begitu berbeda. Jarang menelepon, mengirim pesan
singkat atau bbm, dan seringkali marah
tak beralasan. Tidak bbm
dianggap marah, kalau dibbm bilang mengganggu. Entahlah, sifatnya berubah dengan enam bulan yang lalu. Tak seperti biasa, ia tidak menanyakan
sedang apa, sudah makan, sholat dan sebagainya.
Aku ingin mencari tahu apa yang terjadi padanya. Hingga akhirnya ia mengajakku pergi ke taman mangrove.
Sesampainya disana, kami duduk di batang pohon besar dan berbincang-bincang.
Tapi, seperti ada yang disembunyikan. Dan semua terbukti saat smartphonenya berdering.
“Ada
telepon tuh, ko ga diangkat?”
“Biarin
aja, paling orang iseng.” Ia mengintip lalu memasukan smartphonenya ke
dalam saku.
“Dilihat
dulu dari siapa, mungkin penting.”
“Engga
sayang.... Ini... Itu... Emmh... udah
deh jangan bawel! Ini acara kencan kita, kamu gak perlu urusin handphoneku.”
Ia berkelit dan tak
mau mengangkat telepon didepanku seperti biasanya. Aku merasa sedikit terkejut
melihat sikapnya yang tiba-tiba berubah menjadi kasar. Pikiranku menjadi hal
yang tidak-tidak. Telepon dari siapa? Kenapa tidak mengangkat telepon
didepanku, seperti biasanya? Entahlah, yang pasti berbagai paku pikiran
menancap diotakku kala itu.
Saat
adzan Dzuhur berkumandang, ia menjalankan kewajibannya untuk shalat, sementara
aku sedang halangan menunggu di depan Mushola. Seperti biasa, smartphonenya dititipkan padaku. Ketika ia shalat,
dengan penuh
rasa curiga, aku nekat memeriksa. Dalam hatiku terus berharap, semoga kecurigaanku tidak benar.
Pertama,
ku lihat ada tiga panggilan tidak terjawab, aku lihat juga BBM
“Udah makan belum say? Kamu lagi apa?” Percakapan di BBMnya ku baca. Betapa kagetnya aku, begitu mesranya percakapan kekasihku dengan wanita ini.
Semua panggilan tak terjawab dan BBM pun berasal dari kontak yang sama bernama Anita.
Aku lihat galeri di smartphonenya, terdapat satu folder tak berjudul yang berisi tiga foto orang dengan wajah sama yang aku lihat serupa dengan Display Picture BBM bernama Anita.
“Udah makan belum say? Kamu lagi apa?” Percakapan di BBMnya ku baca. Betapa kagetnya aku, begitu mesranya percakapan kekasihku dengan wanita ini.
Semua panggilan tak terjawab dan BBM pun berasal dari kontak yang sama bernama Anita.
Aku lihat galeri di smartphonenya, terdapat satu folder tak berjudul yang berisi tiga foto orang dengan wajah sama yang aku lihat serupa dengan Display Picture BBM bernama Anita.
Usai
shalat, Adi menghampiriku. Mungkin ia lupa bahwa smartphone yang dititipkannya padaku
membuka rahasianya sendiri tentang
Anita. Ia bersikap seperti biasa. Mengajakku ngobrol di pinggiran taman. Namun
aku yang
baru saja melihat semua tak bisa
bersikap biasa dan menetupi rasa sakit hatiku. Ya Allah, apa kesalahanku hingga ia begitu tega
padaku. Tanpa tersadar, air mataku menetes membasahi pipi.
“Kamu kenapa?” tanyanya seolah
semua baik-baik saja, “kenapa tiba-tiba nangis gitu? Diomelin Bunda? Atau ada
masalah lain? Cerita dong sama aku, jangan malah nangis gitu kayak anak kecil.”
Aku terdiam, bibirku tak sanggup tuk
mengatakan apa-apa. Aku tidak menyangka dia berani berbicara seperti itu dan
dengan nada tinggi. Aku pergi meninggalkan tanpa melihat
matanya. Adi mengejarku, langkah kakinya begitu cepat untuk
menghampiriku. Hingga ia dapat menggenggam erat tanganku.
“Kamu
buka-buka smartphoneku, ya? Kebiasaan banget sih suka buka-buka privasi
orang.” Ucapnya sekali lagi yang membuat hati ini semakin terasa sedih atas
perubahan pada dirinya.
“Ternyata
benar ya, Di. Semua dugaan aku benar. Kamu memang berubah, tepatnya sih bukan
berubah tapi memang menunjukkan siapa kamu sebenarnya. Kamu yang masih kayak
dulu. Dari kecil memang sudah kelihatan badungnya. Dan memang seharusnya
aku mendengar kata Bunda. Kamu bukan laki-laki yang baik. Aku gak tau kenapa
kamu kayak gitu. Anita memang lebih cantik dari aku. Bahkan mungkin lebih
pintar dan bisa jauh merubah kamu lebih baik. Aku bukan yang terbaik buat kamu,
maka dari itu kamu mencari yang lainnya. Tapi ingat, Di. Aku punya perasaan
yang semestinya kamu jaga. Gak harus kamu sakitin aku terlebih dahulu dan
memilih yang lain. Kita bisa memilih yang terbaik untuk kita masing-masing.”
“Maafin
aku, Des” wajahnya terlihat sangat bersalah. Ia tau ini bukan hal yang baik
untuk dia lakukan kepadaku. “Aku akan mengantar kamu pulang dan juga meminta
maaf pada Bundamu karena sudah menyakiti kamu.”
Sepanjang
perjalanan pulang kami tidak saling berbincang. Ia terdiam karena mengakui kesalahannya.
Sedangkan aku sudah merasa cukup sakit hati dan tidak sanggup lagi berkata
apapun. Sesampainya di rumah, Bunda menyambut kami di depan gerbang. Ia melihat
mataku yang sudah memerah akibat menangis tadi. Belum sempat Bunda mengeluarkan
kata-kata yang mungkin ingin memarahi Adi, Adi sudah lebih dulu berbicara.
“Bunda, maaf kalau Adi menyakiti hati
Desti. Jauh dalam hati Adi, Adi menyesal. Maaf kalau Adi gak bisa menjalankan
amanah dari Bunda dan Ayah. Sebagai gantinya, Adi gak akan mengganggu Desti
lagi. Desti berhak bahagia dengan yang lainnya. Orang lain yang lebih baik dari
Adi.”
“Akhirnya kamu mengerti. Bunda terima
maaf kamu. Kamu bisa pergi sekarang dan jangan kembali.”
“Baik, Bunda. Tapi boleh minta waktu
sebentar berdua sama Desti? Ada yang mau Adi omongin.” Tanpa menjawab, Bunda
masuk kembali ke rumah.
“Aku
bertemu kembali sama kamu dengan cara baik-baik. Aku bangun komunikasi kita
dengan baik juga. Niat aku juga baik saat itu sampai aku melakukan kesalahan
yang menyakiti bidadari surgaku ini. Aku memang berjanji untuk tidak mengganggu
kamu lagi. Tapi, bisa kan kalau kita kembali hanya berteman?” ucapnya dengan
bijak.
Aku
tersenyum dan menganggukkan kepalaku kemudian mengucapkan, “Tolong. Tolong jangan sakiti dan ulangi lagi pada
siapapun selain aku. Cukup aku saja yang
merasakan perihnya hati ini atas sikap dan kelakuan kamu. Maaf. Aku tak bisa lebih dari teman, hanya teman!
Terima kasih. Terima kasih atas
segala tinta di dalam kertas putih yang pernah kita ukir bersama dan kasih cinta yang kita rajut berdua. Hati-hati di
jalan. Tetap jadi Adi yang baik, bukan karena ada bersama aku. Tapi bersama
yang baru nanti. “Dan ini novel yang waktu itu kita bicarakan” aku mengeluarkan
satu novel dari dalam ranselku, “tidak ada akhir yang menyedihkan. Biar
bagaimana pun, tokoh perempuan dinovel ini sudah berusaha keras untuk melakukan
yang terbaik untuk sahabatnya. Kematian, itu takdir Allah. Begitu pun
perpisahan dalam suatu hubungan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar