Minggu, 11 Januari 2015

Cerpen : NOVEL USANG MILIK ADI


Matahari nampaknya sudah mulai bergeser beberapa derajat ke arah barat. Pancaran cahaya tulusnya mulai sedikit meredup dan sudah tidak memberikan kehangatan siang yang mungkin tadi bisa dibilang hampir terasa panas. Muadzin di Masjid Al-Falah juga sudah selesai mengumandangkan suara merdunya untuk mengingatkan setiap muslim dan muslimah pergi kesana dan menjalani ibadah shalat Ashar. Beberapa orang disini pun sudah berbondong-bondong pergi ke tempat suci yang jaraknya sekitar lima puluh meter.
Aku bersegera merapihkan meja dan menitipkannya pada rekanku. Aku ingin bersegera pergi ke Masjid. Dari balik meja penerima tamu, aku melihat seorang seumurku yang datang bersama ibunya. Wajahnya tak asing bagiku, dia adalah teman saat duduk di Sekolah Dasar. Kami tak pernah bertemu lagi sejak perpisahan sekitar tujuh tahun lalu. Ia berdiri tepat di hadapanku tapi matanya masih tertuju pada smartphone yang ia genggam.
            Aku jelas mengenalinya, wajahnya tidak berubah. Terlihat biasa, karena memang masih banyak yang jauh lebih tampan dari dia. Dari gelagatnya juga masih terlihat dia anak yang cukup badung, sama seperti dulu. Bunda bilang dia bukan anak yang baik, dulu. Ya begitu menurut Bunda dulu, tidak tahu kalau sekarang.
Sampai Ibu dari pemuda ini selesai menuliskan namanya di buku tamu, ia masih terpaku dengan smartphonenya dan tidak melihatku yang ada di depannya. Ia baru tersadar kalau ada aku disini ketika ia melirik ke arahku.
“Kamu Desti? Yang dulu Sekolah di Kosambi itu kan? Yang jago matematika dan kurus kering karena kebanyakan mikirin rumus? Kok sekarang? Pasti kamu udah gak jago matematika lagi deh” sapaannya setelah sekian lama tidak bertemu membuatku agak sedikit kesal, tertawa juga.
“Diiihhh kamu jahat banget sih bicara tentang aku segitunya. Sekarang aku masih jago kok matematikanya dan justru semakin pintar” kataku dengan sangat percaya diri.
Kemudian mereka pergi menuju pelaminan untuk mengucapkan kata-kata standar di hari pernikahan seseorang, ‘Selamat menempuh hidup baru ya. Semoga menjadi keluarga yang harmonis, sakinnah, mawaddah, warrahmah. Cepet dikasih momongan dan beberapa kata lainnya. Sedangkan aku, kembali menjalankan niat ke masjid.
Beberapa menit berlalu, setelah shalat aku memutuskan kembali ke acara pernikahan tetanggaku. Aku mampir ke ruang tata rias dan memintanya untuk sedikit menambahkan bedak dan lipstick. Sebelum aku sampai ke meja tugasku, aku kembali bertemu dengannya.
“Kok kamu gak pulang?” tanyaku heran.
“Aku disini mau ketemu kamu lagi daaan…” ia berhenti sejenak, “aku mau banyak mengobrol lagi sama kamu, Des. Punya pin BB? Atau nomer handphone?”
Tanpa banyak berbincang, aku memberikannya pin bb.
“Terima kasih ya, Des.” Setelah aku memberikan pin BB dan nomor handphone, ia pergi untuk kembali ke rumahnya.
Satu jam berselang setelah ia meninggalkan acara pernikahan, handphoneku berdering, “cring” aku tersenyum, Adiansyah mengajakku mengobrol melalui BBM chat.
“Hai temen SD, kok kamu berubah banget sih sekarang?”
“Berubah? Hehe kaya power ranger aja”
“Bukan gitu, kamu jadi manis dan endut. Dulu kan kamu kurus kering tinggal tulang dan kulit. Haha Sibuk apa sekarang, Ndut?”
“Ndut? Gitar spanyol gini dibilang endut? Haha. Dari tadi ketemu, kamu bahasnya begituan terus deh :/ Sibuk belajar dan mengajar nih”
“Ngajar matematika yah, ndut? Haha. Kamu kan murid emasnya Bu Safinah. Yang sering dipanggil ngerjain soal matematika di papan tulis.”
“Iya benar, kaya Ki Joko Bodo aja bisa ngeramal. Hehe. Kan dulu kamu sering dipanggil-panggil Bu Safinah juga, Di.”
“Iya, kalo kamu dipanggil buat ngerjain soal. Kalo aku dipanggilnya kena hukuman karena enggak ngerjain soal, Des. Haha”
Berlanjut pada kunjungan pertama, saat itu Sabtu malam, ia datang ke rumahku dengan membawakan martabak keju dan martabak telur kesukaanku. Kami berbincang di teras rumah dengan diawasi Ayah yang duduk di balik jendela ruang tamu seraya membaca koran dan minum kopi. Obrolan kami masih terlihat kaku. Kami hanya mengulang pembahasan.
            Setelah beberapa kali ia ke rumahku. Awalnya sekedar untuk bersilaturahmi, bercengkrama atau sesekali mengerjakan tugas bersama. Pada akhirnya hubungan kita semakin dekat. Aku tidak tahu ini malam keberapa aku menghabiskan malam dengan berbincang bersama lelaki ini di BBM. Ia mengukirkan senyum di malam yang dihiasi hujan dengan kalimat penutup yang begitu manis.
“Selamat tidur bidadari beransel”
“Kok bidadari beransel?”
“Iya, kalau bidadari bersayap udah biasa, kalo bidadari beransel, ya kamu itu.”
Beberapa minggu kemudian, ia mengajakku ke taman kota. Jembatan merah di atas sungai yang bersih, tempat duduk dari kayu pohon jati serta banyaknya pohon rindang membuat suasana menjadi tenang dan nyaman. Teduh di luar, damai dihati. Tak lupa aku bersyukur atas segala pemberian Allah yang ada di hadapanku.
“Kamu suka tempat ini, Des?
“Suka banget, tempatnya adem, bikin hati adem juga di.”
Ia mulai menatapku dengan mata berbinar, ia tersenyum dan bibir mungilnya mulai berucap dengan gemetar, “Des, aku sayang kamu. Kamu bisa ngerasain itu kan?”
Ak
u terdiam dan menatap seluruh likuk wajahya yang saat itu berbeda dari biasanya, kemudian aku tertawa, “tampangmu lucu, Di.”
Kami tidak melanjutkan pembicaraan serius itu dan seakan terhipnotis untuk tidak mengatakan perasaan satu sama lain. Aku mungkin terlihat gugup dan membunuh suasana gugup itu dengan guyonan-guyonan kecil yang membuat kami saling tertawa.
Kencan ini terasa singkat. Senja sudah menyapa, kami sudah lelah dan kami memutuskan untuk pulang. Ia mengantarku hingga depan rumah dan bertemu dengan kedua orang tuaku untuk menunjukkan kalau dia sudah mengembalikan putrinya dengan baik tanpa terjadi apapun yang melukaiku. Kemudian ia mengeluarkan satu novel dari tasnya.
“Beberapa waktu lalu aku menemukan novel di gudang. Aku tau kamu suka baca. Aku belum buka-buka. Nih buat bahan bacaan kamu.” Ia memberikan novel itu.
Aku membukanya, “Di, ini kayaknya beberapa lembar belakangnya luntur deh. Tiga halaman, Di. Gimana aku selesai membacanya?”
“Duh gimana ya? Aku gak lihat-lihat dulu lagi,” ia menggaruk kepalanya.
“Baiklah aku pegang saja. Nanti aku cari tau akhirnya kayak gimana.”
“Bagus deh kalau begitu. Aku pulang ya. Assalamu’alaikum.”
***
            Ungkapannya saat itu dilanjutkan. Di saung  pinggir danau, di bawah pohon rindang membuat suasana begitu tenang.  Suara burung yang hinggap di pepohonan terdengar bersautan satu sama lain terdengar jelas dari saung yang kududuki. Hanya ada aku, dia dan tukang mie ayam di sana. Usai makan, kami mengisi waktu dengan bermain beberapa permainan di tablet miliknya. Lelah jari-jari menyentuh layar, kami berhenti dan melanjutkan untuk mengobrol santai.
“Des, aku sayang kamu. Aku ingin kita selalu bersama dalam suatu hubungan.”
“Hubungan? Kaya kabel listrik aja hubungan.”
“Aku serius!” ucapnya dengan tegas.
“Serius itu band yang sudah bubar kan? Haha”
“Des...” dia mulai kesal dengan aku yang selalu mengalihkan pembicaraannya.
“Oke, maaf. Hubungan apa yang di maksud?”
“Hubungan yang lebih dari persahabatan. Aku mau kita pacaran.” Lalu ia mengeluarkan mawar putih dari saku celana dan memberikannya padaku.
Aku terhanyut dalam kata-kata yang diutarakannya, dengan tersipu malu dan disaksikan oleh tukang mie ayam yang mengintip lewat balik gerobak, aku menjawab perasaan cintanya seraya menerima bunga yang diberikan padaku.
“Iya aku mau, Adiansyah” jawabku tersenyum lalu menunduk menutup pipiku yang mulai memerah.
Kemudian ia berteriak, “yeeessss”.  Jujur saja aku sedikit malu walaupun disini kita hanya bertiga. Tukang mie ayam itu juga menoleh ke arah kami dan tersenyum. Aku mencium mawar putih itu dan mencoba merasakan cinta yang mengelilingi kami.
            Kami kembali membicarakan novel yang beberapa waktu lalu dia berikan. Aku menceritakan kepadanya tentang isi dari novel tersebut.
“Ceritanya sedih banget, Di. Jadi si tokoh laki-lakinya itu hyper aktif dan gak gampang sakit padahal dia yang justru kena sakit parah. Nah, sahabatnya yang perempuan ini sudah tahu sejak lama kalau sahabatnya sakit. Dia berusaha mati-matian deh buat mengobati si laki-laki ini. Padahal dia juga lemah. Pada akhirnya, si laki-laki ini meninggal tanpa tau sakitnya apa dan di saat meninggal itu juga yang perempuan ini malah lagi menjalani operasi ginjal di Rumah Sakit.”
“Kenapa si laki-laki itu gak tau tentang penyakitnya?”
“Soalnya dia keras kepala…” dan perbincangan itu menghantarkan kami menuju adzan maghrib dan mengisi kencan kami sore ini.
***
Dalam hubungan ini, dia sering mengeluarkan kata-kata gombal. Menurutku itu klasik, tapi dia pacarku. Orang yang aku putuskan untuk aku sayangi setelah beberapa tokoh penting dalam hidupku lainnya. Sedangkan aku, selalu saja bisa mengalihkan segala yang ia ucapkan.
“Des, semalam aku menonton on the spot ada orang yang disebut sebagai manusia paling beruntung di dunia karena udah sering lolos dari kecelakaan maut berkali-kali loh!”
“Terus?” tanya ku penasaran.
“Menurut aku sih, orang yang paling beruntung ya aku.”
“Hah, kok kamu?
“Iya, Aku adalah orang yang paling beruntung didunia dan diakhirat, karena aku adalah manusia yang berhasil mendapatkan cinta bidadari surga. Hehehe”
Aku hanya ngikik membaca rayuan gombal kekasihku.
“Bales dong des gombalan aku.” Pintanya memaksa.
“Oke, kamu sebutin deh, apa aja yang paling manis sedunia?”
“Hmm...  Madu... susu... gula...” aku tau dia menjawab hanya untuk berpura-pura.
 “Betul!!!”
“Loh kok betul?”
“Iya betul, kan aku cuma nanya, apa aja yang manis. Terus kamu jawab madu, susu, gula. Dan semua jawabanmu betul.”
“Kok kamu enggak bilang aku lebih manis dari semua itu sih? Aku udah geer sampe wajah memerah seperti buah tomat gini, ternyata gitu doang? Sebal!”
“Aku kan nanya apa bukan siapa di. Hahaha.”
“Kalau nanya siapa, jawabanmu apa?”
“Hmm, hantu jembatan ancol. Kan si manis jembatan Ancol. Pernah dengar judul itu kan?” Jawabku meledek.
Semakin hari, rasa sayang itu semakin tumbuh. Semua terasa indah saat kami lalui bersama. Sedang hangat-hangatnya dua remaja memadu kasih asmara. Dunia terasa milik berdua, begitu indah tiada terkira. Sayang, Uhibuki, Love, Liebe, sering orang menyebutnya, dan kami merasakan kebahagiaan atasnya.
Enam bulan kami merajut kisah asmara, aku selalu memperbincangkan namanya dengan Allah dalam setiap doaku. “Allah, jika kami memang bertemu tuk dipersatukan, maka satukanlah kami dengan cara terbaikmu. Jika bukan, maka pisahkanlah kami secara baik-baik dan secepat mungkin, sebelum hubungan ini semakin jauh dan perasaan ini semakin dalam.”
***
Mungkin ini jawaban Allah atas Doaku. Seminggu terakhir, ia begitu berbeda. Jarang menelepon, mengirim pesan singkat atau bbm, dan seringkali marah tak beralasan. Tidak bbm dianggap marah, kalau dibbm bilang mengganggu. Entahlah,  sifatnya berubah dengan enam bulan yang lalu. Tak seperti biasa, ia tidak menanyakan sedang apa, sudah makan, sholat dan sebagainya. Aku ingin mencari tahu apa yang terjadi padanya. Hingga akhirnya ia mengajakku pergi ke taman mangrove. Sesampainya disana, kami duduk di batang pohon besar dan berbincang-bincang. Tapi, seperti ada yang disembunyikan. Dan semua terbukti saat smartphonenya berdering. 
“Ada telepon tuh, ko ga diangkat?”
“Biarin aja, paling orang iseng.” Ia mengintip lalu memasukan smartphonenya ke dalam saku.
“Dilihat dulu dari siapa, mungkin penting.”
“Engga sayang.... Ini... Itu...  Emmh... udah deh jangan bawel! Ini acara kencan kita, kamu gak perlu urusin handphoneku.”
Ia berkelit dan tak mau mengangkat telepon didepanku seperti biasanya. Aku merasa sedikit terkejut melihat sikapnya yang tiba-tiba berubah menjadi kasar. Pikiranku menjadi hal yang tidak-tidak. Telepon dari siapa? Kenapa tidak mengangkat telepon didepanku, seperti biasanya? Entahlah, yang pasti berbagai paku pikiran menancap diotakku kala itu.
            Saat adzan Dzuhur berkumandang, ia menjalankan kewajibannya untuk shalat, sementara aku sedang halangan menunggu di depan Mushola. Seperti biasa, smartphonenya dititipkan padaku. Ketika ia shalat, dengan penuh rasa curiga, aku nekat memeriksa. Dalam hatiku terus berharap, semoga kecurigaanku tidak benar.
            Pertama, ku lihat ada tiga panggilan tidak terjawab, aku lihat juga BBM
“Udah makan belum say? Kamu lagi apa?”
Percakapan di BBMnya ku baca. Betapa kagetnya aku, begitu mesranya percakapan kekasihku dengan wanita ini.
Semua panggilan tak terjawab dan BBM
pun berasal dari kontak yang sama bernama Anita.
Ak
u lihat galeri di smartphonenya, terdapat satu folder tak berjudul yang berisi tiga foto orang dengan wajah sama yang aku lihat serupa dengan Display Picture BBM bernama Anita.
            Usai shalat, Adi menghampiriku. Mungkin ia lupa bahwa smartphone yang dititipkannya padaku membuka rahasianya sendiri tentang Anita. Ia bersikap seperti biasa. Mengajakku ngobrol di pinggiran taman. Namun aku yang baru saja melihat semua tak bisa bersikap biasa dan menetupi rasa sakit hatiku. Ya Allah, apa kesalahanku hingga ia begitu tega padaku. Tanpa tersadar, air mataku menetes membasahi pipi.
“Kamu kenapa?” tanyanya seolah semua baik-baik saja, “kenapa tiba-tiba nangis gitu? Diomelin Bunda? Atau ada masalah lain? Cerita dong sama aku, jangan malah nangis gitu kayak anak kecil.”
Aku terdiam, bibirku tak sanggup tuk mengatakan apa-apa. Aku tidak menyangka dia berani berbicara seperti itu dan dengan nada tinggi. Aku pergi meninggalkan tanpa melihat matanya. Adi mengejarku, langkah kakinya begitu cepat untuk menghampiriku. Hingga ia dapat menggenggam erat tanganku.
“Kamu buka-buka smartphoneku, ya? Kebiasaan banget sih suka buka-buka privasi orang.” Ucapnya sekali lagi yang membuat hati ini semakin terasa sedih atas perubahan pada dirinya.
“Ternyata benar ya, Di. Semua dugaan aku benar. Kamu memang berubah, tepatnya sih bukan berubah tapi memang menunjukkan siapa kamu sebenarnya. Kamu yang masih kayak dulu. Dari kecil memang sudah kelihatan badungnya. Dan memang seharusnya aku mendengar kata Bunda. Kamu bukan laki-laki yang baik. Aku gak tau kenapa kamu kayak gitu. Anita memang lebih cantik dari aku. Bahkan mungkin lebih pintar dan bisa jauh merubah kamu lebih baik. Aku bukan yang terbaik buat kamu, maka dari itu kamu mencari yang lainnya. Tapi ingat, Di. Aku punya perasaan yang semestinya kamu jaga. Gak harus kamu sakitin aku terlebih dahulu dan memilih yang lain. Kita bisa memilih yang terbaik untuk kita masing-masing.”
“Maafin aku, Des” wajahnya terlihat sangat bersalah. Ia tau ini bukan hal yang baik untuk dia lakukan kepadaku. “Aku akan mengantar kamu pulang dan juga meminta maaf pada Bundamu karena sudah menyakiti kamu.”
Sepanjang perjalanan pulang kami tidak saling berbincang. Ia terdiam karena mengakui kesalahannya. Sedangkan aku sudah merasa cukup sakit hati dan tidak sanggup lagi berkata apapun. Sesampainya di rumah, Bunda menyambut kami di depan gerbang. Ia melihat mataku yang sudah memerah akibat menangis tadi. Belum sempat Bunda mengeluarkan kata-kata yang mungkin ingin memarahi Adi, Adi sudah lebih dulu berbicara.
“Bunda, maaf kalau Adi menyakiti hati Desti. Jauh dalam hati Adi, Adi menyesal. Maaf kalau Adi gak bisa menjalankan amanah dari Bunda dan Ayah. Sebagai gantinya, Adi gak akan mengganggu Desti lagi. Desti berhak bahagia dengan yang lainnya. Orang lain yang lebih baik dari Adi.”
“Akhirnya kamu mengerti. Bunda terima maaf kamu. Kamu bisa pergi sekarang dan jangan kembali.”
“Baik, Bunda. Tapi boleh minta waktu sebentar berdua sama Desti? Ada yang mau Adi omongin.” Tanpa menjawab, Bunda masuk kembali ke rumah.
“Aku bertemu kembali sama kamu dengan cara baik-baik. Aku bangun komunikasi kita dengan baik juga. Niat aku juga baik saat itu sampai aku melakukan kesalahan yang menyakiti bidadari surgaku ini. Aku memang berjanji untuk tidak mengganggu kamu lagi. Tapi, bisa kan kalau kita kembali hanya berteman?” ucapnya dengan bijak.
Aku tersenyum dan menganggukkan kepalaku kemudian mengucapkan, “Tolong. Tolong jangan sakiti dan ulangi lagi pada siapapun selain aku. Cukup aku saja yang merasakan perihnya hati ini atas sikap dan kelakuan kamu. Maaf. Aku tak bisa lebih dari teman, hanya teman! Terima kasih. Terima kasih atas segala tinta di dalam kertas putih yang pernah kita ukir bersama dan kasih cinta yang kita rajut berdua. Hati-hati di jalan. Tetap jadi Adi yang baik, bukan karena ada bersama aku. Tapi bersama yang baru nanti. “Dan ini novel yang waktu itu kita bicarakan” aku mengeluarkan satu novel dari dalam ranselku, “tidak ada akhir yang menyedihkan. Biar bagaimana pun, tokoh perempuan dinovel ini sudah berusaha keras untuk melakukan yang terbaik untuk sahabatnya. Kematian, itu takdir Allah. Begitu pun perpisahan dalam suatu hubungan.”

Tidak ada komentar: